RAKYATKU.COM, WAJO - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menilai, perlu ada kajian dampak atau manfaat dari Pilkada langsung.
Sebab, menurut mantan Kapolri itu, Pilkada langsung ada mudaratnya. Butuh biaya politik yang sangat besar.
Biaya politik itu membuat kepala daerah melakukan berbagai cara, untuk mengganti ongkos politik yang telah dikeluarkan saat kampanye. Salah satunya, korupsi.
"Bayangin, dia mau jadi kepala daerah, mau jadi bupati itu Rp30 miliar, Rp50 miliar, (sementara) gaji Rp100 juta, (atau) taruhlah Rp200 juta."
"Lalu kali 12 (bulan), itu 2,4 (miliar) kali lima tahun itu 12 miliar, yang keluar 30 miliar, rugi enggak?" kata Tito Karnavian seusai rapat kerja bersama Komisi II DPR, Rabu (6/11/2019).
Tito Karnavian tidak percaya, ada orang atau kepala daerah yang rela mengeluarkan uang banyak saat Pilkada. Dengan alasan mengabdi kepada bangsa dan negara.
Ia meyakini, orang akan mengganti ongkos politik yang dikeluarkan ketika kampanye, saat menjabat.
"Apa benar saya ingin mengabdi kepada nusa dan bangsa terus rugi? Bullshit. Saya tidak percaya," tegasnya.
Oleh karena itu, Tito mengaku tidak heran, apabila banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
Karena menurut dia, hampir semua kepala daerah berpotensi melakukan korupsi.
"Kalau bagi saya sebagai mantan Kapolri, ada OTT (operasi tangkap tangan), penangkapan kepala daerah buat saya it's not a surprise for me, kenapa?"
"Mungkin hampir, hampir ya, saya enggak mau menuduh. Mungkin hampir semua kepala daerah berpotensi melakukan tindak pidana korupsi," tuturnya.
Tito Karnavian tidak menjawab, saat ditanya apakah kajian tersebut nantinya akan mengarah pada wacana Pilkada tidak langsung atau dipilih melalui DPRD.
Yang pasti, menurutnya saat ini perlu perbaikan dari sistem Pilkada langsung, agar tidak terlalu banyak menimbulkan dampak negatif.
"Bagaimana solusi mengurangi dampak negatifnya, supaya enggak terjadi korupsi, biar tidak terjadi OTT lagi," ucapnya.
Tito Karnavian lalu mempertanyakan apakah pilkada langsung masih relevan saat ini.
"Tapi kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem poltik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun?," tanyanya seusai rapat kerja dengan Komisi II DPR.
Ia tidak heran apabila banyak kepala daerah yang terjerat kasus tindak pidana korupsi. Hal itu karena besarnya ongkos politik yang dikeluarkan pasangan calon, karena sistem pilkada langsung.
"Banyak manfaatnya, yakni partisipasi demokrasi, tapi kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi."
"Kepala daerah kalau enggak punya Rp30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia," ucapnya.
Tito Karnavian berpandangan, mudarat Pilkada langsung tidak bisa dikesampingkan.
Oleh karena itu, ia menganjurkan adanya riset atau kajian dampak atau manfaat dari pilkada langsung.
"Laksanakan riset akademik. Riset akademik tentang dampak negatif dan positif pemilihan pilkada langsung."
"Kalau dianggap positif, fine. Tapi bagaimana mengurangi dampak negatifnya? Politik biaya tinggi, bayangin," papar Tito Karnavian.
Ketua DPRD Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan H. Andi Alahuddin Palaguna, merespons positif wacana itu. Kebetulan kata dia, di Kabupaten Wajo Sulsel, sudah tiga kali pilkada lansung. Dimulai dari tahun 2009 hingga 2019.
"Sejalan dengan Pilkada, saya 3 periode duduk sebagai anggota DPRD. Yang saya lihat, fenomena yang sangat berdampak pada ASN. Yang walaupun sebenarnya sudah ada regulasi yang mengatur ASN harus netral, tetapi terkadang mereka diseret dan terseret untuk terlibat dalam mendukung salah satu kontestan," ungkap legislator PAN itu, Jumat (15/11/2019).
Begitupun terhadap para pendukung yang kalah, maupun yang menang, mereka bisa langsung merasakan dampak balas dendam, maupun balas jasa oleh pemenang di Pilkada.
"Dampaknya sangat dirasakan, mulai dari tingkat kabupaten sampai dengan tingkat pelosok desa," ujarnya.
Begitupun juga pada penggunaan APBD yang harus dialokasi ke penyelenggara KPU, Bawaslu, TNI/Polri. Total anggaran yang digunakan tidak sedikit, sekitar Rp42 miliar.
Menurutnya, seandainya anggaran Pemilu yang jumlahnya puluhan milliar rupiah, dialokasikan untuk infrastruktur jalan, jembatan dan lain-lain, bisa langsung dirasakan oleh masyarakat pedesaan, untuk memperlancar perekonomian. (Rasyid)