RAKYATKU.COM, INDIA - Pembunuhan yang dilakukan Jolly Joseph terhadap keluarganya, mengingatkan polisi terhadap tragedi pembunuhan berantai yang dilakukan Lucy asal Idukki, India.
Dia membunuh suaminya dan empat anaknya 51 tahun lalu.
Untuk memuluskan pembunuhannya, Lucy menggunakan berbagai macam senjata tajam. Di antaranya, kapak, linggis, dan pisau.
Dia menyembunyikan empat mayat di tumpukan jerami dan mengemas mayat putrinya yang berusia satu tahun dalam sebuah tas perjalanan. Dia lalu membawanya ke sebuah gereja, di mana polisi menangkapnya.
Dilansir dari Manorama, Lucy yang berusia 32 tahun, dijatuhi hukuman gantung. Tetapi, hukumannya kemudian diubah menjadi penjara seumur hidup. Setelah menjalani masa tahanan, ia berlindung di panti asuhan di Pusat Kerala. Tidak ada yang tahu keberadaannya setelah itu.
Kengerian itu terungkap dapa 9 Februari 1968. Lucy berjalan ke sebuah gereja di Purappuzha dekat Thodupuzha pada pagi hari. Sambil menyerahkan koper, dia meminta pastor untuk mempersembahkan misa bagi orang mati. Ketika dia mengeluarkan uang sebanyak RS4,25 dari dompetnya, yang ditumpuk dengan uang kertas, sang pastor bertanya kepadanya, mengapa dia membawa begitu banyak uang.
Lucy berkata, dia melakukannya, karena tak seorang pun di rumahnya. Dia mengatakan bahwa suaminya sakit dan terbaring di rumah sakit. Dia meninggalkan tas di gereja dan menyuruh pastor untuk tidak membukanya. Lucy mengunci kopernya.
Begitu dia pergi, pastor yang curiga akhirnya membuka koper itu. Alangkah kagetnya saat melihat isinya mayat seorang bocah perempuan, yang ditutupi dengan bedak.
Pastor lalu menghubungi polisi Thodupuzha.
Lucy telah membunuh suaminya, Joseph, kepala sekolah setempat, anak-anaknya sejak pernikahan pertama, dan putranya hasil pernikahan dengan Joseph.
Pembunuhan sadis itu dimulai pada 7 Februari, ketika Joseph kembali dari piknik sekolah ke Malampuzha. Dia membawa Pius, putranya bersama Lucy yang juga ikut dibunuh pada hari itu. Dia memiliki empat anak, masing-masing dari dua pernikahannya. Dia telah menyelesaikan hampir tujuh bulan sebagai kepala sekolah dasar St Sebastian di Purappuzha.
Ketika Joseph tidak muncul di sekolah setelah piknik, seorang staf mengunjungi rumahnya untuk bertanya ke tetangganya. Lucy baru saja menyerahkan kunci gedung sekolah ke staf. Keesokan harinya, manajer skeolah dan guru-guru lainnya, mendapati rumah itu kosong. Mereka kemudian menemukan mayat Joseph dan tiga putranya di tumpukan jerami.
Joseph berusia 55 tahun. Ketiga anak lelaki yang menjadi korban, masing-masing berusia 16, 11 dan 7 tahun. Pius yang berusia 7 tahun, adalah putra Lucy sendiri. Dua dari anak laki-laki itu, kemungkinan dibunuh lebih awal.
Lucy kemudian memberitahu polisi, bahwa dia tidak menyukai suami dan anak-anaknya dari pernikahan sebelumnya. Dia kesal bahwa suaminya dan saudaranya mencoba merampok maharnya. Rupanya masalah ini telah menyebabkan perkelahian dalam keluarga, di mana saudara laki-laki Lucy dipukuli. Dia mengatakan kepada pengadilan, bahwa suaminya biasa memukulinya atas perintah saudaranya.
Tubuh Joseph ditebas 10 kali. Kepalanya hancur dengan benda tumpul. Pius terbunuh dengan senjata tajam.
"Bina saya jatuhkan dari tangga," aku Lucy kepada polisi waktu itu.
Dia telah membakar pakaian dan tikar yang bernoda darah untuk menghilangkan jejak. Dia juga mencuci kapak dan senjata lainnya hingga bersih. Dia memeras jus wangi dari akar yang tersedia dan menyemprotkan ke seisi rumah untuk menyembunyikan bau darah.
Lucy dijatuhi hukuman mati oleh hakim sesi Ernakulan, PA Mohiyuddeen pada 22 Agustus. Saudaranya, Joy yang jadi tersangka kedua, dibebaskan karena kurang bukti. Perintah pengadilan mengatakan, Lucy secara brutal membunuh lima orang dengan bantuan orang tak dikenal. Sebanyak 54 orang bersaksi, termasuk pastor paroki.
Meskipun tidak ada saksi mata dalam kasus ini, pengadilan mengatakan, kalau bukti tidak langsung berlimpah untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Pengadilan menyalahkan polisi, karena tidak melakukan penyelidikan yang cepat, tertib dan ilmiah.
Hukuman Lucy dikurangi menjadi penjara seumur hidup saat naik banding. Ketika dia keluar dari penjara setelah menjalani masa hukumannya, dia tidak diterima di keluarga. Rusak oleh penjara dan isolasi sosial, dia berlindung di panti asuhan, lalu menghilang.