Kamis, 12 September 2019 12:51
Hasnan Hasbi
Editor : Andi Chaerul Fadli

RAKYATKU.COM, MAKASSAR - Revisi UU KPK masih menjadi perdebatan di masyarakat. Sebagian masyarakat menolak dengan alasan revisi aturan itu akan melemahkan posisi KPK sebagai lembaga yang selama ini getol memberantas tindak pidana korupsi.

 

Di sisi lain, revisi UU KPK ini juga mendapat dukungan. Dengan revisi UU KPK ini, diyakini akan meningkatkan kinerja KPK dalam menangani kasus korupsi ke depannya. 

Salah satu yang sepakat dengan revisi UU KPK adalah Hasnan Hasbi, akademisi dari Sulsel. 

"Saya rasa kita semua mesti komitmen mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia. Tidak hanya melihat lembaganya, tetapi juga kinerja dan hasil dari penindakan tindak pidana korupsi itu sendiri," ujar Hasnan, Kamis (12/9/2019).

 

Menurutnya, tak ada satupun lembaga yang membidangi pemberatasan korupsi mendapatkan hasil yang maksimal. KPK RI, Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian RI, kata dia, sama-sama serius dalam hal penegakan hukum bagi para pelaku tindak pidana korupsi.

Dia menjelaskan, tak elok menggiring masyarakat untuk beropini bahwa hanya salah satu saja dari tiga lembaga tersebut yang serius dan dapat dipercaya oleh publik dalam pemberantasan korupsi. 

"Namun dari ketiga lembaga ini, KPK memiliki kewenangan yang lebih. Misalnya, pengusutan tindak pidana korupsi dengan kerugian negara Rp1 miliar ke atas. Kemudian adanya kewenangan penyadapan, adanya kewenangan pra ajudikasi maupun ajudikasi," kata dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) ini.

Ia pun sepakat dengan Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dimana revisi tersebut dipandang sebagai hal yang wajar dalam negara hukum. 

Revisi UU KPK inipun telah pembahasan sebagaimana mekanisme dalam teknis Perundang-undangan yang terbagi atas 5 tahapan yaitu pengajuan, pembahasan, persetujuan, pengesahan dan pengundangan terhadap undang-undang tersebut. 

"Menurut saya sah-sah saja. Memangnya yang revisi tidak punya kompetensi, tidak profesional? Memangnya yang mengajukan revisi UU KPK lembaga yang menjalankan fungsinya tidak berdasarkan undang-undang dan kewenangannya? Yang mengajukan Revisi UU KPK adalah DPR RI melalui Komisi 3 bidang hukum telah melalui pembahasan," kata dia.

"Lah kok sekarang ada kesan presiden RI dibenturkan dengan lembaga legislatif yang berdasarkan Undang-undang Dasar RI Tahun 1945 maupun konstitusi menjalankan tugas dan fungsinya untuk mengolah dan Revisi UU KPK," jelasnya.

Hasnan menyebutkan, dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Negara Indonesia merupakan negara hukum. Negara hukum yang dimaksud, kata dia, adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan kebenaran maupun keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.

"Bahkan menurut Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil. Sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja," jelas mahasiswa S3 Universitas Tarumanegara ini.

Dia menambahkan, secara umum dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supremacy of law, equality before the law, due process of law. 

Segala aktivitas dalam bernegara diatur oleh Hukum tanpa terkecuali. Presiden RI pun tunduk pada ketentuan hukum berlaku.

"Jadi jangan hanya karena satu lembaga lalu kita dihebohkan bahwa dengan Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi ada upaya melemahkan penindakannya, menurut saya itu salah," ungkapnya.

Hasnan yang juga menjadi pengacara beberapa kasus di Sulsel menyebut tujuan hukum ada tiga, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Di antara tujuan hukum ini memenuhi ketiganya didalam pengajuan Revisi UU KPK.

"Di revisi itu ada klausula pasal yang memberikan kejelasan mengenai masa waktu penanganan perkara terhadap seseorang yang telah diberikan status tersangka. Inikan manusiawi. Mana ada orang mau hidup dengan status tersangka tanpa ada kejelasan hukumnya."

"Meski tidak ditahan tapi predikat tersangka jadi beban sosial yang berat. SP3 dalam revisi UU KPK juga memberi keadilan. Surat penghentian proses penyelidikan jika tidak cukup bukti maka berdasarkan usulan itu mesti dihentikan prosesnya, ini menurut saya adil sebab dalam KUHAP kita juga diatur mengenai hal tersebut yang sifatnya Lex Generalis dengan usulan tersebut maka akan melahirkan Lex Spesialis didalam Undang-Undang Komisi Pemberatan Korupsi kan lebih konkrit lagi," jelasnya. 

Hasnan juga mengutip pandangan Jeremy Bentham, seorang filsuf utilitarisme, yang mengatakan hukum dikatakan hukum jika bermanfaat. Dimana hukum mesti memiliki manfaat bagi subyek hukum yang akan diatur oleh hukum tersebut.

"Jika hukum tidak memberi manfaat maka dalam teori ini itu tidak dianggap sebagai suatu hukum. Dalam Revisi UU KPK itu jelas ada kemanfaatannya bagi masyarakat. Saya merasa dengan RUU KPK ini maka Lembaga tersebut akan semakin eksis dengan adanya pengawasan external, dari publik misalnya."

"Dewan pengawas itu perlu dalam suatu lembaga. Agar menjadi check and balance dalam penyimpangan terhadap prosedural nantinya," tambahnya. 

Keberadaan KPK RI, Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian RI diharapkan penegakan hukum terhadap pelaku korupsi semakin baik. Kordinasi untuk hal-hal tertentu pun penting dilakukan untuk Saling bersinergi.

"Kita jangan beranggapan untuk menghilangkan power salah satu dari lembaga tersebut," ujar dia.

TAG

BERITA TERKAIT