RAKYATKU.COM - Ulama kharismatik, KH Lanre Said wafat 14 tahun silam, tepatnya 2005. Namun, namanya tetap hidup, bahkan ikut mengantar Muhammad Zaitun Rasmin meraih gelar doktor bidang pendidikan Islam.
Ustaz Zaitun, sapaan Muhammad Zaitun Rasmin meraih gelar akademik tertinggi dari Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, Jumat (16/8/2019) bertepatan 15 Zulhijah 1440 Hijriah.
Ketua umum DPP Wahdah Islamiyah itu berhasil mempertahankan disertasi berbahasa Arab, "Mafhum Tarbiyah Tahfidzil Quran ‘Inda 'Alim Bugisy Lanre Said" atau "Konsep Tarbiyah Tahfidz Alquran Menurut Ulama Bugis KH Lanre Said".
Ustaz Zaitun yang juga ketua Ikatan Dai dan Ulama Asia Tenggara itu menjelaskan disertasi dalam bahasa Arab yang fasih di hadapan penguji.
Rektor Universitas Ibnu Khaldun Dr HE Bahruddin MAg bertindak sebagai pimpinan sidang.
Sementara tim penguji terdiri atas para pakar pendidikan Islam di negeri ini yaitu Dr H Abbas Mansur Tamam MA dan Prof Dr H Abuddin Nata MA, dengan promotor Prof Dr KH Didin Hafiduddin MS, H Adian Husaini MSi, PhD, dan Dr HE Mujahidin MSi.
Gelar doktor ini diperoleh empat tahun setelah Ustaz Zaitun menerima gelar doktor honoris causa atau doktor kehormatan dari International Electronic University Mesir, tahun 2015.
Doktor kehormatan itu diberikan kepada Ustaz Zaitun atas perannya yang menonjol dalam bidang studi Islam, politik Islam, dan pendidikan.
Promosi Doktor Langka
Ketua Dewan Syuro Wahdah Islamiyah, Ustaz Muhammad Ikhwan Djalil Lc MHI ikut menjadi saksi promosi doktor Ustaz Zaitun di kampus Universitas Ibnu Khaldun, Bogor.
Tema disertasi tentang Alquran jadi poin tersendiri. Lebih spesifik lagi tentang hafalan Alquran dan program yang disebutnya sebagai “Tarbiyah Tahfidzil Quran”.
"Disertasi yang ditulis dalam bahasa Arab sesuatu yang tidak biasa di Indonesia," tulis Ustaz Ikhwan.
Ustaz yang videonya saat menumpahkan miras di Pantai Bira ini juga terkesan dengan judul disertasi Ustaz Zaitun.
"Satu judul yang memadukan universalitas Alquran dan pengejawantahannya dalam bentuk kearifan lokal dari seorang ulama dan praktisi pendidikan tahfidz Alquran dari pelosok Sulawesi Selatan yang kharismatik dan penuh ketawaduan KH Lanre Said rahimahullah, pendiri dan pembina Pondok Tahfidz Alquran Darul Huffadz, Tuju-Tuju Bone," urai Ustaz Ikhwan.
Gelar doktor ini sekaligus menunjukkan semangat belajar Ustaz Zaitun yang tak pernah padam. Wakil ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) itu tidak berhenti dan puas pada gelar doktor kehormatan.
"Ketawaduan yang bernas, masya Allah," tambah Ustaz Ikhwan seperti dikutip dari Wahdah.or.id.
Ustaz Ikhwan menjadi saksi ujian promosi doktor yang diwarnai hujan deras di pengujung hari Jumat yang mulia itu.
Ustaz Zaitun Rasmin dinyatakan secara resmi lulus sebagai doktor ke-202 Universitas Ibnu Khaldun Bogor dengan predikat sangat memuaskan.
Penyampaian keputusan ini langsung diiringi sujud syukur Ustaz Zaitun atas nikmat dan karunia Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Ustaz Ikhwan adalah salah seorang sahabat dekat Ustaz Zaitun. Sudah lebih 30 tahun bersama-sama berjuang dan berdakwah. Sama-sama tidur beralas tikar di rumah kos Matraman, Jakarta.
Mereka juga sama-sama belajar di sisi para ulama di Madinah, dan sama-sama mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) Makassar.
Ketua Harian DPP Wahdah Islamiyah, Dr Rahmat Abdurrahman MA juga menyambut gembira gelar doktor ini.
"Gelar akademik tertinggi, namun bukan terakhir. Tersemat gagah di depan suatu nama, namun menjadi cermin," tulis Ustaz Rahmat di akun Facebooknya.
"Mamaku pernah bilang, 'Nak, jadilah seperti padi, semakin tinggi semakin menunduk'. Imam Ibnu al-Mubarak ketika ditanya, sampai kapan Anda hendak belajar? Menjawab: 'Sampai aku menemukan amal kebaikan yang mengantarku ke surga Allah'," lanjutnya.
Ucapan selamat serta doa-doa terbaik juga mengalir dari Ketua STIBA Makassar, Ustaz Ahmad Hanafi Dain Yunta Lc MA PhD dan Ketua Dewan Syariah Wahdah Islamiyah, Ustaz Muhammad Yusran Anshar Lc MA PhD.
Siapa KH Lanre Said?
Dikutip dari sejumlah referensi, KH Lanre Said dilahirkan di kampung Ulunipa atau Manera, Salomekko, Kabupaten Bone pada 1923 M. Namun, tidak diketahui pasti hari, tanggal, dan bulannya.
Anak kedua dari tujuh bersaudara, dari pasangan Andi Passennuni Petta Ngatta dengan Andi Marhana Petta Uga.
Nama kecilnya adalah Andi Muhammad Said, namun setelah masuk di Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI), Sengkang, namanya dirubah oleh KH Muhammad As’ad menjadi Lanre Said.
Sebagaimana ditulis Ilham Kadir Palimai dalam "Jejak Dakwah KH Lanre Said; Ulama Pejuang dari DI/TII hingga Era Reformasi", ibunya pernah mendapatkan Lailatul Qadar dan berdoa agar dikaruniai keturunan ulama semuanya hafal Alquran dan penghuni surga. Lanre Said tumbuh dan berkembang di bawah asuhan dan didikan ayahnya.
Setelah berumur sepuluh tahun, ia dikirim belajar ke MAI Sengkang pada tingkat Ibtidaiyah untuk manyusul kakaknya Petta Haji Lesang yang telah belajar disana.
Dari tujuh bersaudara, semuanya pernah belajar dan mondok di MAI Sengkang. Adik-adiknya yang turut serta mondok dan belajar di bawah asuhan KH Muhammad As’ad adalah Petta Haji Sikki, Petta Haji Dollah, Petta Hj Sokku, Petta Lebbi, dan Andi Abdul Malik Petta Simpuang.
Lanre Said menghabiskan waktunya selama 16 tahun untuk menimba ilmu di madrasah As’adiyah. Ia menempuh seluruh jenjang pendidikan yang ada di As’adiyah, mulai dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan kelas atau halaqah khusus, kelas ini setingkat dengan perguruan tinggi.
Pelajaran yang diterima dari seorang guru lebih spesifik. Syekh yang pernah mengajar di sana kesemuanya berasal dari Timur Tengah.
Dari penelusuran penulis, mereka adalah Syekh Ahmad al Hafifi, merupakan ulama jebolan al Azhar Kairo yang langsung didatangkan dari negara asalanya, Mesir dan Syekh Sulaiman as Su’ud, merupakan ulama yang dikirim langsung dari Mekah, Saudi Arabia.
Ketika umurnya yang menginjak 22 tahun, Lanre Said telah menyelesaikan seluruh jenjang pendidikan yang ada di Madrasah Arabiyah Islamiyah Sengkang. Tepatnya tahun 1945.
Setelah itu, ia mengajar pada almamaternya selama empat tahun, hingga 1949. Kemudian kembali ke kampung halamannya di Tuju-Tuju untuk mengabdikan diri dengan mengajar dan berdakwah.
Pada tanggal 7 Agustus 1953, Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di daerah Sulawesi Selatan Abdul Qahhar Muzakkar memproklamasikan penggabungan pasukan dan daerah yang dikuasainya ke dalam Negara Islam Indonesia (NII) di bawah pimpinan Kartosuwirjo yang berpusat di Jawa Barat.
Dengan bergabungnya Qahhar Muzakkar ke dalam NII, secara otomatis jaringan NII ini yang telah diproklamirkan Kartoswirjo pada 7 Agustus tahun 1949 bertambah luas. Untuk menopang perjuangan NII, Kartoswirjo membentuk angkatan bersenjata yang diberi nama Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang digunakan untuk mempertahankan eksistensinya, termasuk menentang pasukan dan pemerintahan Republik Indonesia yang tidak setuju tentang perjuangan, visi, dan misi NII.
Sejak awal, setelah menyelesaikan pendidikannya di MAI Sengkang, Lanre Said langsung terjun mengajar dan tidak tertarik dengan pola perjuangan DI/TII. Namun, Lanre Said ikut bergabung dengan DI/TII di bawah komandan Qahhar Muzakkar karena terpaksa dan tidak ada pilihan lain.
Saat itu, sejumlah teman-temannya sudah lebih dulu bergabung dan memberikan informasi kalau Lanre Said merupakan salah satu alumni terbaik MAI Sengkang dan penguasaan hukum Syariah serta berbagai macam disiplin ilmu lainnya sangat tinggi.
Untuk itulah, walaupun berada nun jauh di pulau yang sangat terpencil itu, tetap saja berkali-kali anggota Qahhar Muzakkar datang untuk mangajaknya ikut bergabung.
Padahal, saat itu alat transportasi dan komunikasi masih sangat langka. Setelah Qahhar Muzakkar dinyatakan terbunuh oleh pasukan siliwangi pada tahun 1965, secara total pasukan dan anggota DI/TII di bawah kekuasaannya menyerah dan ikut kembali bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Maka, pada saat itu, Lanre Said merasa mendapatkan angin segar dan leluasa mencari tempat untuk mendirikan lembaga pendidikan. Pada tahun ini juga, Lanre Said melakukan ekspedisi pertama.
Dia berangkat dari Pulau Sembilan yang bernama Kanalo (Sinjai) dengan menumpang kapal barang disertai oleh 20 orang yang barasal dari veteran pasukan DI/TII, serta beberapa kerabatnya. Mereka menuju Pulau Kalimantan bagian selatan, tepatnya di Kabupaten Kota Baru Kecamatan Pamukan Selatan, di sebuah kampung bernama Tanjung Salamantakan.
Bermukim mengisi hari-harinya dengan berbagai kegiatan sosial termasuk di antaranya belajar mengajar bagi penduduk setempat. Sekitar tahun 1970, Lanre Said kembali melanjutkan perjalanannya ke sebuah pulau yaitu Sumbawa dan Lombok, bahkan sempat ke Nusa Tenggara Timur tepatnya di Flores.
Dalam perjalanannya, misi utamanya tetap mencari tempat untuk mendirikan lembaga pendidikan. Tetapi apa yang didapatkan di daerah ini ternyata lebih parah dari sebelumnya. Jika di daerah Kalimantan para masyarakatnya bersikap masa bodoh terhadap pendidikan, di daerah Sumbawa, Lombok, dan sekitarnya Lanre Said tidak diberikan kesempatan untuk mengajar dan berdakwah. Selama beberapa bulan di sana, hanya diperkenankan naik mimbar sekitar dua kali saja. Bahkan, Lanre Said pernah dikepung akan dihabisi massa dengan tuduhan menyebarkan ajaran sesat. Dia dan beberapa pendamping setianya dikepung dalam masjid.
Namun seperti biasa, ada saja beberapa orang bepengaruh yang diutus oleh Allah untuk membelanya. Karena pembelanya ini tergolong jawara dan sangat berpengaruh maka para massa ini pun ciut nyalinya dan akhirnya bubar.
Tak lama, akhirnya Lanre Said kembali melanjutkan perjalanannya. Kali ini dia mencoba ke pulau Jawa, Surabaya, di tempat para saudaranya yang lebih dulu telah merantau dan bermukim di kota pahlawan ini.
Berada di Surabaya jauh lebih nyaman dibanding beberapa tempat dan kampung halaman yang disinggahinya selama dalam perantauan. Di sana ia diberi kesempatan dan keleluasan untuk mengajar dan berdakwah di beberapa mesjid.
Hal ini dapat dimengerti karena mayoritas penduduk di daerah tempat tinggalnya adalah masyarakat pendatang juga atau heterogen dan memiliki sumberdaya manusia yang lebih tinggi dari pada territorial dakwah sebelumnya.
Lanre Said juga mengoptimalkan waktunya dan kesempatannya untuk tetap mencari tempat yang sesuai dalam mendirikan lembaga pendidikan yang selama ini diidam-idamkannya. Dia pun melakukan kroscek dari satu daerah ke daerah lain sampai ke Jawa Barat tepatnya di daerah Cirebon. Namun, hasilnya nihil alias tidak menggembirakan.
Ini berlanjut sampai tahun 1973, Lanre Said pernah kembali ke Tuju-Tuju. Namun itu tidak berlangsung lama, sekadar mengantar keluarga dari istri keduanya yaitu Andi Nurhasanah Petta Cinnong ke Tuju-Tuju dan dua bulan kemudian kembali ke Surabaya hingga awal tahun 1975. Antara tahun 1973 dan 1975 tersebut, Lanre Said sudah merasa menemukan tempat yang tepat untuk mendirikan lembaga pendidikan yang selama ini menjadi obsesi dan cita-cita mulianya, yaitu kampung asal atau halamannya sendiri di Tuju-Tuju.
Pada tahun-tahun ini jugalah dia telah menanamkan pengetahuan dan jiwa sosial yang tinggi kepada kedua istrinya yaitu Andi Nuhasanah Petta Cinnong dan Andi Banunah Petta Paccing (istri ke empat) yang saat itu masih bermukim di Surabaya. Karena kelak jika telah mendirikan pondok maka harus betul-betul ikhlas memelihara dan mendidik para santri.
Akhirnya pada awal 1975, Lanre Said dan seluruh keluarganya yang masih tersisa di Surabaya kembali ke Tuju-Tuju dan pada tahun itu juga tepatnya pada Jam 07.00, tanggal 7 Agustus 1975 yang bertempat di Tuju-Tuju dengan tujuh santri, sebuah lembaga pendidikan lahir dengan nama Majelisul Qurra wal Huffaz. Dan mimpi itu pun terwujud menjadi sebuah kenyataan.
Sukses Melahirkan Ulama Terkenal
Wartawan senior, Andi Suruji juga pernah menulis jejak KH Lanre Said. Banyak peristiwa yang terkesan tak masuk akal menemani jejak dan kiprah dakwahnya, terutama dalam merintis Pesantren Darul Huffadz.
Salah seorang anaknya, KH Saat Said, mengungkapkan, ayahnya pernah bergabung pasukan Darul Dakwah/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) secara tidak sengaja. Ketika itu, ia menjadi tameng untuk membebaskan keluarganya yang ditawan gerombolan DI/TII.
“Beliau waktu itu disandera dengan pertaruhan kalau beliau tidak masuk hutan, maka keluarganya yang akan menjadi korban. Maka untuk menyelamatkan keluarganya adalah beliau masuk hutan dan keluarganya keluar dari hutan waktu itu,” kata KH Saad Said, anak KH Lanre Said, yang kini memimpin Pesantren Darul Huffadz.
Ditambahkan Saad Said, ayahnya juga pernah bergabung dengan Partai Masyumi sebagai kendaraan perjuangannya. Belakangan Lanre Said menyadari, perjuangan dakwahnya melalui politik dan revolusi DI/ TII tidak membuahkan hasil.
“Akhirnya, dia mulai merintis perjuangan melalui jalur pendidikan,” kata Saad.
Awalnya, KH Lanre Said membina sejumlah santri di rumahnya di Bone, untuk menghafal Al-Quran. Ia menamakannya Majelis Qurra Wal-Huffadz. Di antara santrinya waktu itu, Bactiar Nasir, Zulfahmi Alwi, Samsuddin Arif, Yusuf Rusdi, dan Syekh Bajuril Kubro.
“Kami berlima adalah alumni Pesantren Gontor, yang kemudian datang belajar menghafal Alquran ke KH Lanre Said,” kata Zulfahmi Alwi, akademisi UIN Alauddin Makassar.
Menurut Zulfahmi, merekalah berlima yang kemudian mengusulkan kepada KH Lanre Said, agar Majelis Qurra Wal-Huffadz dibuatkan yayasan dan dikembangkan menjadi pesantren modern. Inilah yang menjadi cikal bakal Pesantren Darul Huffadz.
Pesantren Darul Huffadz diresmikan tahun 7 Agustus 1993 pukul 07.00 wita oleh Bupati Bone ke-7, Andi Amir. Pesantren ini berada di kampung Tuju-Tuju dengan jumlah santri awal tujuh orang.
Hebatnya, sejak didirikan KH Lanre Said, Pesantren Darul Huffadz hingga tak membebani pembayaran sama sekali santrinya. KH Lanre Said juga tak membolehkan meminta sumbangan untuk pesantren.
“Seluruh santri yang belajar di tempat beliau itu tidak membayar apa-apa. Beliau membiayai, bukan saja membiayai makan, minum, sandang, dan pangan, tetapi juga pendidikan anak-anak yang belajar di situ. Bahkan awalnya rumah beliau sendiri dijadikan tempat pendidikan,” kata Zulfahmi.
Zulfahmi menilai, sesungguhnya KH Lanre Said dikategorikan sebagai seorang sufi, lantaran memiliki tingkat kepasrahan kepada Allah yang sangat tinggi.
“Kalaupun misalnya orang tidak mengatakan beliau sufi, tapi saya melihat beliau itu memiliki sifat-sifat sufi. Salah satu sifat sifat Sufi itu adalah kepasrahan yang tinggi. Bayangkan begitu banyak santri yang dibina tidak ada satupun di antara mereka yang dimintai biaya. Lalu dari mana biayanya, sering kali datang sumbangan yang tidak diduga-duga dan tidak diketahui siapa yang memberikan,” kenang Zulfahmi.
KH Lanre Said, ulama yang menunjukkan keteladan tentang ketulusan, keikhlasan dan sifat tawakkal kepada Allah. Ia tak pernah takut, pesantrennya terancam tutup gara-gara tak punya dana operasional. Ia menggunakan manajemen ilahi.