RAKYATKU.COM - Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto sempat menyatakan akan konsisten sebagai oposisi. Lalu, mengapa Gerindra berusaha untuk mendapatkan kursi ketua MPR RI?
Sebagai ketua MPR RI, Prabowo bisa memaksimalkan posisinya oposisi untuk mengawal kebijakan pemerintah. Masalahnya, Gerindra kalah kuat dari koalisi parpol pendukung pemerintah.
Dari lima parpol pemenang Pemilu 2019, Gerindra satu-satunya yang bukan anggota Koalisi Indonesia Kerja (KIK). Empat lainnya adalah PDIP, Golkar, PKB, dan Partai NasDem. Secara hitungan kasar, sulit bagi Gerindra untuk mendapat jatah ketua MPR.
Hal itu bisa terjadi jika KIK merelakan terjadi lobi-lobi politik tingkat tinggi yang membuat KIK merelakan posisi itu kepada Gerindra. Pertemuan Prabowo dengan Megawati Soekarnoputri menjadi menarik.
Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menganalisa tujuan politik Partai Gerindra menduduki kursi ketua MPR.
Arya memandang langkah itu dilandasi beberapa motif. Salah satunya untuk mendapatkan publikasi politik. Publikasi politik dibutuhkan partai besutan Prabowo Subianto ini demi kepentingan elektoral 2024.
"Dengan memegang posisi MPR, tentu Gerindra akan dapat membuat brand politik baru," kata Arya seperti dikutip dari Liputan6.com, Selasa (23/7/2019).
Menurutnya, Gerindra dan partai lain mengincar kursi ketua MPR karena wewenangnya sangat besar dan vital dalam peta politik nasional. MPR memiliki tiga wewenang yang cukup menarik perhatian beberapa partai.
Salah satunya kemampuan untuk mengamandemen UUD 1945. MPR juga bisa memutuskan untuk memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya atau diimpeachment. MPR juga berwenang menunjuk wakil presiden bila terjadi kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatannya.
"Tiga kewenangan tersebut akan dapat mengubah arah politik dan untuk itu posisi MPR menjadi strategis," ungkap Arya.
Namun demikian, tidak mudah untuk melakukan menjalankan wewenang tersebut. Misalnya saja pemakzulan atau memberhentikan presiden dan wakil presiden. Ada beberapa tahap yang mesti dilewati untuk melakukan hal itu.
Misalnya saja harus ada terlebih dahulu putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa presiden melanggar konstitusi. Lalu harus pula adanya usulan dari DPR ke MPR untuk memberhentikan presiden. Terlebih lagi, sidang MPR untuk membahas pemakzulan harus dihadiri tiga per empat anggota MPR.
"Sidang MPR terkait impeachment harus dihadiri oleh 3/4 anggota MPR dan disetujui 2/3 dari yang hadir," jelas Arya.
Politikus senior PDIP Pramono Anung mengatakan, permintaan Gerindra sah-sah saja. Namun, Pramono menjelaskan mekanisme pengisian jabatan pimpinan MPR bergantung pada koalisi.
Dia memastikan kursi ketua DPR akan diisi kader PDIP karena meraih suara terbanyak di Pemilu 2019.
"Jadi intinya, tentunya ketua MPR ini karena memang cara dan sistem pemilihannya berbeda dengan ketua DPR. Kalau ketua DPR kan otomatis lima terbesar menjadi pimpinan," kata Pramono.