Minggu, 28 April 2019 20:06
Editor : Eka Nugraha

RAKYATKU.COM --- RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) memperluas makna pemerkosaan. Tidak mesti harus ada pemaksaan. 

 

Sebelumnya, defenisi pemerkosaan berdasarkan pasal 285 KUHP adalah barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

Definisi perkosaan di atas kemudian diluaskan oleh RUU PKS dan dapat dilihat dalam Pasal 16 yang menyatakan:

Perkosaan adalah Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual.

 

"Yang dimaksud dengan 'pemaksaan hubungan seksual' adalah upaya memaksakan hubungan seksual tanpa persetujuan Korban atau bertentangan dengan kehendak Korban," demikian Penjelasan Pasal 16 sebagaimana dikutip dari website DPR, Minggu (28/4/2019).

Adapun yang dimaksud dengan 'hubungan seksual' adalah berbagai cara untuk melakukan hubungan seksual yang tidak terbatas pada penetrasi penis ke vagina atau ke dalam bagian tubuh yang berfungsi untuk mendapatkan keturunan, namun termasuk memasukkan alat kelamin, anggota tubuh selain alat kelamin atau benda lain ke dalam vagina atau dubur atau mulut, dan atau menggesek-gesekkan alat kelamin ke bagian tubuh. Keluarnya air mani tidak menjadi syarat dalam aturan pasal ini, namun dapat sebagai penguat terjadinya hubungan seksual.

"Yang dimaksud dengan 'kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan sesungguhnya' adalah orang yang sedang atau dalam keadaan pingsan, sakit, pengaruh hipnotis, obat atau alkohol, atau kondisi mental atau tubuh yang terbatas. Persetujuan yang diberikan oleh anak tidak dianggap persetujuan yang sesungguhnya," ujarnya.

Selain membuat hukum materil soal kekerasan seksual, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) juga memuat hukum acaranya. Salah satunya yaitu satu saksi. 

"Keterangan seorang Korban sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya," demikian bunyi Pasal 45 ayat 1 RUU PKS yang dikutip detikcom dari website DPR

Alat bukti lain yang dimaksud meliputi:
a. surat keterangan psikolog dan/atau psikiater;
b. rekam medis dan/atau hasil pemeriksaan forensik;
c. rekaman pemeriksaan dalam proses penyidikan;
d. informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;
e. dokumen;
f. hasil pemeriksaan rekening bank.

"Keterangan Korban atau Saksi anak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan Korban atau Saksi lainnya," pada Pasal 45 ayat 3.

TAG

BERITA TERKAIT