Minggu, 31 Maret 2019 19:00
Nokubonga Qampi
Editor : Mays

RAKYATKU.COM, AFRIKA SELATAN - Malam itu, Nokubonga Qampi sudah berbaring di peraduannya, ketika tiba-tiba teleponnya berdering.

 

Dari ujung sana, terdengar suara perempuan. Posisinya sekitar 500 meter dari posisi Nokubonga. Wanita itu memberitahukan, putri Nokubonga, Siphokazi, telah diperkosa tiga pria yang mereka kenal dengan baik.

"Cepatlah, pemerkosanya masih ada di sini," ujar wanita itu.

Nokubonga kemudian cepat-cepat menghubungi polisi.  namun tidak ada tanggapan. Lagi pula, dia paham bahwa kalaupun polisi merespons, perlu waktu bagi mereka untuk mencapai desanya di kawasan pegunungan Provinsi Eastern Cape, Afrika Selatan.

 

Nokubonga tidak punya pilihan lagi selain mengandalkan dirinya sendiri.

"Saya takut, namun saya terpaksa pergi karena itu putri saya," ujarnya sebagaimana dilansir dari BBC.

"Saya berpikir bahwa ketika saya sampai di sana, dia mungkin sudah meninggal…Karena dia mengenal para pelakunya dan mereka mengenalnya, mereka mungkin berpikir untuk membunuhnya supaya dia tidak melapor."

Sebelum pemerkosaan terjadi, Siphokazi pergi mengunjungi teman-temannya di empat rumah kecil di desa yang sama. Namun, dia ditinggalkan sendirian dalam keadaan tertidur, tatkala teman-temannya keluar pada pukul 01.30 dini hari.

Tiga pria yang sedang minum-minum di salah satu rumah, kemudian menyerangnya.

Ada dua ruangan di gubuk Nokubonga. Ruangan pertama adalah kamar tidurnya dan ruangan lainnya adalah dapur. Dari tempat itu, perempuan tersebut mengambil sebilah pisau.

"Saya mengambilnya karena perjalanan dari sini ke tempat lokasi kejadian tidak aman. Saat itu gelap dan saya harus menggunakan senter pada ponsel saya untuk menerangi jalan."

Setelah dekat dari lokasi, dia bisa mendengar jeritan putrinya ketika dia mendekati rumah tersebut. Saat memasuki kamar tidur, pancaran sinar dari ponselnya membuat dia dapat menyaksikan pemandangan mengerikan: putrinya tengah diperkosa.

Seseorang masih di atas tubuh putrinya. Dua lainnya berdiri di samping putrinya menunggu giliran, dengan celana sudah turun di pergelangan kaki.

"Saya takut...Saya duduk di lantai dan bertanya apa yang mereka lakukan. Tatkala mereka melihat itu saya, mereka datang menyerang saya. Di situlah saya berpikir bahwa saya perlu membela diri, reaksi otomatis," tutur Nokubonga.

Nokubonga menolak merinci apa yang terjadi selanjutnya.

Hakim di pengadilan dalam kasus tersebut mengatakan kesaksian Nokubonga menunjukkan, perempuan tersebut "menjadi sangat emosional" begitu melihat salah satu pria memperkosa putrinya, sedangkan dua lainnya berdiri dalam keadaan celana turun hingga ke pergelangan kaki.

Hakim Mbulelo Jolwana menambahkan, "Saya bisa memahami bahwa dia diliputi amarah".

Namun, saat menceritakan kembali kejadian saat itu, Nokubonga mengaku dirinya takut—atas keselamatan dirinya dan putrinya. Wajahnya hanya menunjukkan kesedihan dan rasa sakit.

Menjadi jelas dalam persidangan bahwa manakala pria-pria itu menyerang Nokubonga, dia melawan balik menggunakan pisaunya. Dia menikam mereka selagi mereka kabur, bahkan salah satunya melompat keluar jendela. Dua di antara mereka luka parah, satu lainnya tewas.

Nokubonga tidak berlama-lama untuk mencari tahu seberapa parah mereka terluka. Dia langsung membawa putrinya ke rumah seorang teman di dekat situ.

Ketika polisi datang, Nokubonga ditahan dan dibawa ke kantor polisi. Dia ditempatkan di sel tahanan.

"Saya memikirkan anak saya. Saya tidak punya informasi (tentangnya). Pengalaman waktu itu membuat trauma."

Pada saat bersamaan, Siphokazi dirawat di rumah sakit sembari mengkhawatirkan ibunya, membayangkan ibunya mendekam di sel tahanan, dan terbayang kemungkinan dia dipenjara seumur hidup.

"Saya berharap jika dia dipenjara seumur hidup di penjara, saya yang akan menggantikannya," kata Siphokazi.

Dalam keadaan masih terguncang, Siphokazi tidak mengingat penyerangan tersebut. Yang Siphokazi ketahui saat ini adalah cerita yang dikisahkan ibunya saat dia datang berkunjung ke rumah sakit dua hari kemudian setelah dibebaskan dengan jaminan.

Sejak saat itu mereka selalu memberi sokongan emosional satu sama lain.

"Saya tidak menerima konseling, tapi ibu saya bisa mendampingi saya. Saya sedang pulih," kata Siphokazi.

Upaya Nokubonga kini berfokus dalam memastikan kehidupan terus berlanjut seperti sediakala.

"Saya masih ibunya dan dia masih putri saya," ujarnya.

Mereka kini bisa berkelakar seperti, misalnya, Siphokazi tidak bisa menikah karena Nokubonga tidak punya siapa-siapa lagi untuk diurusi.

Keberanian Nokubonga, membuat warga sekitar menggelarinya Lion Mama.

TAG

BERITA TERKAIT