RAKYATKU.COM - Kehilangan keluarga tercinta adalah hal yang menyakitkan, dan tidak bisa membawa mayat mereka untuk dikuburkan bisa lebih menyayat hati.
Tapi begitulah kenyataan yang harus dihadapi oleh Paul Njoroge dan ayah mertuanya, John Quindos Karanja.
Dengan hati yang tersayat, mereka berjalan menjauh dari tempat di mana istri dan anak-anak mereka meninggal, dengan hanya membawa sekantong tanah.
Tiga generasi keluarga mereka berada di penerbangan Ethiopian Airlines yang jatuh minggu lalu, menewaskan semua 157 orang di dalamnya.
Mereka adalah istri John Quindos Karanja, putrinya (istri Paul) dan tiga cucunya yang berusia 7 tahun, 4 tahun, dan 9 bulan.
Menteri Transportasi Ethiopia Dagmawit Moges mengatakan, identifikasi mayat korban kecelakaan bisa memakan waktu hingga enam bulan. Dia mengatakan sampel DNA sedang dikumpulkan dari anggota keluarga untuk membantu identifikasi.
Jadi, tanpa sisa-sisa anggota keluarga mereka untuk dibawa pulang, Paul dan John mengambil tanah.
"Ini hanya tanah dari daerah itu, jadi kalau-kalau DNA tidak ada yang akan didapat, saya akan menyimpan ini untuk menjadi pengingat orang-orang yang saya cintai," kata John Karanja pada CNN.
Hanya itu yang bisa mereka lakukan untuk saat ini, tapi itu tidak membawa kedamaian bagi mereka.
"Kami ingin pulang bersama mereka (mayatnya). Itulah satu-satunya cara kami dapat memiliki penutupan. Saya tidak dapat memiliki penutupan lainnya," kata Paul.
Untuk sekarang Paul Njoroge mengatakan hanya bisa meratapi ibu mertuanya, istri dan anak-anaknya di lokasi kecelakaan dan merenungkan saat-saat terakhir mereka.
"Ketika saya berpikir tentang pesawat yang jatuh dan apa yang dia pikirkan, dia pasti memikirkan saya dan bagaimana saya akan hidup. Dan anak-anak, mereka pasti memanggil ibu mereka, mereka pasti berteriak kepada ayah mereka," katanya.
"Itu tidak akan pernah meninggalkanku. Itu tidak akan pernah meninggalkanku," katanya.
Paul dan istrinya tumbuh di pedesaan Kenya. Bari-baru ini mereka tinggal di Ontario, Kanada, bersama anak-anak mereka.