Minggu, 24 Februari 2019 16:00
Diskusi panel "Dinamika Politik Kontemporer di Indonesia, Upaya memperkuat 4 Pilar Kebangsaan" di lokasi wisata Kete' Kesu', Toraja Utara, Sabtu, (24/2/2018). 
Editor : Mays

RAKYATKU.COM, MAKASSAR - Dalam rangkaian kegiatan Pertemuan Raya Senior Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dihelat sebuah panel diskusi yang mengusung tema "Dinamika Politik Kontemporer di Indonesia, Upaya memperkuat 4 Pilar Kebangsaan" di lokasi wisata Kete' Kesu', Toraja Utara, Sabtu, (24/2/2018). 

 

Diskusi tersebut menghadirkan Hermawi Taslim (Ketua Umum Forkoma PMKRI), Yunus Razak (Ketua Ikatan Alumni PMII), dan Bernard Nainggolan (Pengurus Nasional Perkumpulan Senior GMKI). 

Sekretaris Jenderal Pengurus Nasional Senior GMKI, Edward Tanari saat memandu diskusi ini mengatakan, panelis menyorot gerakan radikalis dan intoleran saat ini, yang sangat mengkhawatirkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Menurutnya, gerakan seperti ini banyak menyusup dalam institusi pendidikan, khususnya di dunia kemahasiswaan di Kampus. "Sangat disayangkan, bahwa gerakan ini tumbuh subur di kampus-kampus unggulan yang ditengarai akan berdampak signifikan dalam mempengaruhi pembentukan watak kebangsaan kita," tuturnya.  

 

"Untuk itu, alumni Cipayung sepakat akan tetap menjadi salah satu benteng mengadang gerakan ini, dengan membangun komitmen mendorong adik-adik Kelompok Cipayung, untuk kembali ke Kampus dalam mengisi kegiatan ekstra-kurikuler," tambahnya.  

Para panelis juga sepakat, untuk meneguhkan alumni Kelompok Cipayung, agar tetap mengambil bagian dan berjuang menjadi sumber kader pemimpin bangsa di berbagai sektor.

"Untuk hal itu, para alumni Cipayung diharapkan terus memperkuat jejaring dan kerja sama antar para alumni, dan mendorong Pengurus Kelompok Cipayung, untuk selalu berdiskusi dan membangun kebersamaan, mewujudkan Indonesia yang dicita-citakan sebagai intisari deklarasi Kelompok Cipayung tahun 1972," jelasnya, Minggu, (24/2/2019).

Sementara itu, Yunus Razak mengawali pemaparannya mengatakan, kaum Nahdliyin NU sangat toleran untuk berdiskusi kepada agama lain, yang ada di Indonesia. Namun katanya, banyak umat yang justru membangun sekat.  
"Kami sebagai kaum Nahdliyin NU merasa nyaman berdialog dengan kawan-kawan dari pihak Kristen dan Katolik. Nggak ada masalah. Namun ironis karena justru saat ini, kami ditolak oleh beberapa elemen dari umat yang merasa tidak nyaman dengan keberadaan NU dan Muhammadiyah," demikian Yunus. 

Menanggapi pendapat Yunus, Hermawi Taslim mengatakan, umat Katolik dan Kristen di Indonesia harus mengikis sikap minoritas kompleks yang justru menyuburkan kelompok radikalis yang ada. "Kita harus berani melawan seperti almarhum Gus Dur, demi menjaga Indonesia sebagai rumah kebangsaan bersama," katanya.

"Untuk mewujudkan harapan dan cita-cita kebangsaan, keberadaan Pancasila sebagai ideologi yang menjadi patron dan pengikat, menjadi sebuah keniscayaan," tutup Bernard.

TAG

BERITA TERKAIT