RAKYATKU.COM, MAKASSAR - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan daftar calon anggota legislatif (caleg) di Pemilu 2019 yang merupakan para eks narapidana tindak pidana korupsi (tipikor).
Dari dua kali rilis, KPU RI menghimpun total 81 caleg eks napi korupsi. Terbagi atas 23 caleg eks koruptor tingkat DPRD provinsi, 49 caleg eks koruptor tingkat DPRD kabupaten/kota, dan 9 caleg DPD.
Penyumbang terbanyak caleg eks koruptor adalah Partai Hanura, yakni 11 orang. Disusul Partai Golkar dan Partai Demokrat masing-masing 10 caleg eks koruptor.
Lalu, Partai Berkarya 7 orang, Partai Gerindra 6 orang, PAN 6 orang, Partai Perindo 4 orang dan PKPI 4 orang. Sementara PBB mencalonkan 3 caleg eks terpidana korupsi, PPP 3 orang, PKB 2 orang, PDIP 2 orang, Partai Garuda 2 orang dan PKS 2 orang.
Hanya Partai NasDem dan PSI yang nihil atau tidak mencalonkan caleg eks koruptor sama sekali.
Dari 81 caleg eks napi korupsi tersebut, 6 orang diantaranya dari Sulawesi Selatan. Terbagi atas 5 caleg DPRD kabupaten/kota dan 1 caleg DPRD Provinsi.
Mereka masing-masing Muhlis (Caleg Partai Berkarya DPRD Provinsi Sulawesi Selatan 3, nomor urut 8), Joni Kornelius Tondok (Caleg PKPI DPRD Kabupaten Toraja Utara Dapil Toraja Utara 4, nomor urut 1), Andi Muttamar Mattotorang (Caleg Partai Berkarya DPRD Kabupaten Bulukumba 3 nomor urut 9), Ramadhan Umasangaji (Caleg Partai Perindo DPRD Kota Pare-pare 1, nomor urut 2), Andi Wahyudi Entong (Caleg Partai Hanura DPRD Kabupaten Pinrang 1, nomor urut 1), serta Rahmanuddin (Caleg Partai Demokrat DPRD Kabupaten Luwu Utara 1, nomor urut 7).
Lalu bagaimana peluang mereka di ajang Pemilu Legislatif (Pileg) 2019 mendatang?
Pakar Politik Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Andi Luhur Prianto memberikan analisisnya.
Menurut Luhur, isu korupsi dalam kontestasi Pileg 2019 akan selalu menjadi bahan untuk negative campaign. Faktanya, kata Luhur, semua partai politik lama dan termasuk beberapa partai politik baru pun punya kader yang tersangkut kasus korupsi, di hampir semua tingkatan kepengurusan.
"Bagi caleg eks napi koruptor, tentu ada beban tambahan bagi mereka dalam mensosialisasikan diri pada pemilih. Terutama kalau pengumuman KPU tentang status caleg eks napi koruptor ini juga optimal bisa sampai ke basis-basis pemilih strategis," ungkapnya kepada Rakyatku.com melalui aplikasi pesan, Kamis (21/2/2019).
Korupsi politik, menurut Luhur, merupakan salah satu dampak dari bekerjanya sistem demokrasi elektoral yang berbiaya mahal. Luhur menilai jika tak ada satu pun partai politik yang berani mendeklarasikan diri sebagai partai yang bersih, kecuali partai baru yang belum lulus ujian elektoral.
Jika terlanjur pernah terjerembab dalam kubangan korupsi, kata Luhur, tentu akan mempengaruhi tingkat elektoral sang caleg. Meski memang katanya, belum ada ukuran yang bisa dijadikan acuan untuk menilai besar kecilnya efek status eks napi koruptor tersebut.
"Tentu ada pengaruh elektoralnya, tetapi soal signifikansi dengan naik atau turunnya peringkat perolehan suara, saya kira perlu ditelisik lebih jauh. Apalagi sistem pemilihan juga tidak memberi koneksi langsung antara perilaku elit nasional dengan caleg mereka di daerah. Meskipun demikian, caleg daerah akan sulit mengeksplorasi isu-isu anti korupsi dan tata pemerintahan yang bersih sebagai agenda perjuangan mereka di DPR dan DPRD," beber Wakil Dekan II FISIP Unismuh Makassar ini.
Sekalipun demikian, kata Luhur, partai politik seyogyanya memberikan teladan dengan tidak mendorong kader-kadernya yang pernah tersangkut dengan masalah tindak pidana korupsi.
"Partai politik idealnya bisa memberi keteladanan dalam perilaku anti-korupsi. Sebagai pilar utama demokrasi, seharusnya partai politik mampu mendorong dan memberi warna dalam penciptaan tata pemerintahan yang bersih," pungkasnya.