Kamis, 21 Februari 2019 06:00
ILUSTRASI
Editor : Alief Sappewali

RAKYATKU.COM - Ada pertanyaan seputar hukum menikah. Wajib atau sunnah. Ulama berbeda pendapat. Namun, ada satu kesimpulan yang menyatukan perbedaan pandangan tersebut.

 

Allah Ta’ala berfirman, "Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. An Nur: 32)

Dalam ayat ini terdapat perintah untuk menikah. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai apakah menikah itu wajib atau hanya sunnah. Setidaknya ada tiga pendapat para ulama.

1. Wajib

 

Madzhab zhahiri berpendapat bahwa hukum menikah adalah wajib dan orang yang tidak menikah itu berdosa. Mereka berdalil dengan ayat di atas, yang menggunakan kalimat perintah "dan nikahkanlah" dan perintah itu menunjukkan hukum wajib.

Mereka juga mengatakan bahwa menikah adalah jalan untuk menjaga diri dari yang haram. Kaidah mengatakan, "kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya wajib".

2. Mubah

Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hukum menikah adalah mubah. Orang yang tidak menikah itu tidak berdosa. Imam Asy Syafi’i mengatakan bahwa menikah itu adalah sarana menyalurkan syahwat dan meraih kelezatan syahwat (yang halal), maka hukumnya mubah saja sebagaimana makan dan minum.

3. Sunnah

Pendapat jumhur ulama, yaitu madzhab Maliki, Hanafi, dan Hambali berpendapat bahwa hukum menikah itu mustahab (sunnah) dan tidak sampai wajib. Mereka berdalil pada beberapa keterangan berikut ini.

Andaikan menikah itu wajib, maka tentu ternukil riwayat dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang menyatakan hal itu karena menikah adalah kebutuhan yang dibutuhkan semua orang. Sedangkan di antara para sahabat Nabi ada yang tidak menikah. 

Demikian juga orang-orang sejak zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam hingga zaman sekarang ini, ada sebagian yang tidak menikah sama sekali. Tidak ternukil satu pun pengingkaran beliau terhadap hal ini.

Jika menikah itu wajib, maka seorang wali boleh memaksakan anak gadisnya untuk menikah. Padahal, memaksakan anak perempuan untuk menikah justru dilarang oleh syariat. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, "Jangan engkau nikahkan seorang perawan hingga ia mau (ridha)."

Maksudnya hingga gadis tersebut mau dan ridha untuk menikah.

Al Jashash berkata, “Di antara yang menunjukkan sunnahnya menikah (tidak wajib), yaitu ulama sepakat bahwa seorang tuan tidak boleh memaksakan budak laki-laki atau budak wanitanya untuk menikah. Padahal, budak dalam ayat di atas di-athaf-kan dengan al ayaama (orang yang sendirian). Ini menunjukkan bahwa hukum menikah adalah sunnah untuk semua (yang disebutkan dalam ayat)."

Seperti dikutip dari muslim.or.id, maka yang rajih adalah pendapat jumhur ulama bahwa menikah hukumnya adalah sunnah dan tidak sampai wajib.

Namun perlu digaris-bawahi, khilafiyah yang di bahas di atas adalah jika seseorang dalam kondisi yang aman dari fitnah dan aman dari risiko terjerumus dalam hal-hal yang diharamkan oleh Allah terkait syahwat kepada wanita. 

Adapun jika seseorang khawatir terjerumus ke dalam fitnah semisal zina dan lainnya, tidak ada khilaf di antara para ulama bahwa nikah dalam keadaan ini adalah wajib. Karena membentengi dan menjaga diri dari perkara haram itu wajib, sehingga dalam kondisi ini menikah hukumnya wajib.

Al Qurthubi berkata, "Para ulama kita berkata, hukum nikah itu berbeda-beda tergantung keadaan masing-masing orang dalam tingkat kesulitannya menghindari zina dan juga tingkat kesulitannya untuk bersabar. Dan juga tergantung kekuatan kesabaran masing-masing orang serta kemampuan menghilangkan kegelisahan terhadap hal tersebut. Jika seseorang khawatir jatuh dalam kebinasaan dalam agamanya atau dalam perkara dunianya, maka nikah ketika itu hukumnya wajib. Dan orang yang sangat ingin menikah dan ia memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar untuk menikah hukumnya mustahab baginya. Jika ia tidak memiliki sesuatu yang tidak bisa dijadikan mahar, maka ia wajib untuk isti’faf (menjaga kehormatannya) sebisa mungkin. Misalnya dengan cara berpuasa, karena dalam puasa itu terdapat perisai sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih".

TAG

BERITA TERKAIT