Minggu, 10 Februari 2019 02:30
Editor : Eka Nugraha

RAKYATKU.COM --- Dengan 10 nominasi Oscar, termasuk film terbaik dan sutradara terbaik, The Favorite membuat tren untuk film-film tentang sejarah. Semuamya mengarah pada pembentukan ulang genre film tersebut, tulis Emma Jones seperti yang dilansir BBC.

 

Olivia Colman yang dinominasikan di ajang penghargaan perfilman Oscar dan pemenang Golden Globe untuk penampilannya sebagai Ratu Anne di The Favorite, mengatakan kepada BBC bahwa dia percaya film tentang sejarah telah "membentuk ulang genre tersebut. Ini memang masih berantakan dan Anda hampir dapat mencium era yang dikisahkan dalam film itu"

Hubungan cinta yang terkenal antara Ratu Anne dan Sarah, Duchess of Marlborough, menjadi favorit untuk musim penghargaan film. Terlepas dari kemenangan Golden Globe, film ini telah menerima 10 nominasi Oscar dan 12 nominasi penghargaan film Inggris, Bafta.

The Favorite mengungguli sejumlah besar film sejarah yang telah dirilis dalam beberapa bulan terakhir.

 

Potongan-potongan periode sejarah tak bisa begitu saja diwujudkan dalam adegan, karena untuk menghadirkan kostum, kastil, dan pasukan kavaleri yang sesuai jamannya, biayanya tidak murah.

Dalam sejarah film baru-baru ini, hanya epos seperti Braveheart (1995) dan Gladiator (2000) yang memiliki anggaran besar, lebih dari US$100 juta, atau senilai Rp1,4 triliun.

Film-film ini di atas membawa pulang Oscar, namun film lainnya lebih sering berada di posisi kedua, termasuk Elizabeth (1998); The Lion in Winter (1968) dan bahkan Cleopatra (1963) yang pada saat itu adalah film termahal yang pernah dibuat.

Seperti yang dialami Ridley Scott, sebagai pemenang lima Oscar untuk Gladiator sekaligus pengambil gambar adegan pertempuran secara jenius sekalipun tidak dapat menyelamatkan film Kingdon of Heaven (2005) yang diabaikan oleh banyak orang.

Netflix menghabiskan US$120 juta untuk pesaing William Wallace, yaitu Robert the Bruce di The Outlaw King. Sementara Mike Leigh mengabdikan lebih dari 150 menit untuk Peterloo, film tentang pembantaian politik yang terjadi di Inggris pada 1819.

Di Prancis, Pierre Schoeller membuat Un Peuple et son roi, yang mengisahkan bentangan sejarah mulai dari penyerangan Bastille pada 1789 hingga eksekusi Raja Louis pada 1792.

Ironisnya, sejarah terkini yang memungkinkan sebagian besar film-film ini dibuat.

"Fokus dalam film-film sejarah biasanya melalui pandangan pria kulit putih dengan fokus pada sosok 'juru selamat' berkulit putih," jelas Larushka Ivan-Zadeh, kepala kritikus film untuk surat kabar Metro.

Narasi tentang seorang perempuan yang memegang kekuasaan di antara pria-pria sezamannya telah menemukan resonansi baru bagi generasi yang peduli akan kesetaraan.

Ini juga alasan mengapa sutradara film Mary Queen of Scots yang berasal dari Inggris, Josie Rourke, berpendapat film itu diputar di layar pada saat ini.

Kedua ratu yang tampil dalam film, Mary of Scotland dan Elizabeth I, masing-masing diperankan oleh Saoirse Ronan dan Margot Robbie, menderita seksisme sehari-hari dari teman-teman lelaki mereka.

"Mereka dikelilingi oleh penasihat pria dan film ini memberikan petunjuk tentang apa yang mereka hadapi sehari-hari," jelasnya.

Mary Queen of Scots dibintangi Margot Robbie sebagai Ratu Elizabeth I dan Saoirse Ronan sebagai ratu yang namanya dijadikan judul film itu

"Ada beberapa elemen fiksi dalam film ini, seperti pertemuan fisik antara para ratu yang tidak terjadi dalam sejarah, tetapi saya benar-benar berharap tidak ada yang berpikir bahwa kita telah menggambarkan misogini fiksi."

Tetapi meskipun Margot Robbie mendapat nominasi Bafta, dan penampilan Ronan sangat dipuji, Mary Queen of Scots gagal membuat sebanyak mungkin nominasi di Academy Awards, selain dari kategori kostum dan dan make-up terbaik.

Sumber: BBC

TAG

BERITA TERKAIT