RAKYATKU.COM - Video Kiai Maimun Zubair atau Mbah Moen mendoakan Prabowo Subianto menjadi pemimpin perbincangan.
Saat Mbah Moen mendoakan Prabowo, calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi) berada di sampingnya.
"Ya Allah, hadza ar rois, hadza rois , Pak Prabowo ij'al ya ilahana ," kata Mbah Moen dalam acara Sarang Berzikir untuk Indonesia Maju di Pondok Pesantren Al-Anwar, Rembang, Jawa Tengah, pada Jumat (1/2/2019) kemarin.
Diketahui, potongan doa Mbah Moen itu kurang lebih memiliki arti 'ya Allah, inilah pemimpin, inilah pemimpin Prabowo, jadikan, ya Tuhan kami'.
Kemudian, Maimun dihampiri oleh Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, Muhammad Romahurmuziy alias Romi usai membacakan doa. Setelah itu, Maimun kembali berdoa seperti meralat ucapannya sebelumnya. "Jadi saya dengan ini, untuk menjadi, siapa yang ada di samping saya ya Pak Jokowi," katanya.
Sementara itu menurut Waketum PPP yang berada di lokasi menjelaskan, jika dilihat secara utuh Mbah Moen mendoakan Jokowi untuk menjadi presiden kedua kalinya.
"Saat ini beredar di publik dua video Mbah Moen berdoa. Dua video tersebut harus dilihat secara utuh, tidak bisa dibaca hanya satu video saja. Di video pertama yang diframing sebagai doa untuk Pak Prabowo semestinya dilihat secara utuh," kata Arwani.
"Beliau menyebut jelas 'hadza rois (presiden ini) dan mendoakan untuk menjadi presiden kedua kalinya (marrah tsaniyah)'. Jelas di sini, siapa yang dimaksud menjadi presiden kedua kalinya, tentu merujuk Pak Jokowi. Beliau saat ini menjadi presiden di periode pertama. Kecuali doanya 'menjadi capres kedua kali', itu tentu ditujukan ke Pak Prabowo," jelasnya.
"Video kedua, Mbah Moen menegaskan doanya ditujukan untuk Pak Jokowi. '...Hadza Pak Prabowo La Pak Prabowo Innama Pak Jokowi, Joko Widodo'," sambung Arwani, dikutib Detikcom, Sabtu (2/2/2019).
"Ini juga menjadi jelas, bahwa doa yang tadi itu yang isinya mendoakan agar jadi presiden kedua kali itu untuk Jokowi bahkan ditegaskan dua kali dengan menyebut Jokowi dan Joko Widodo," imbuhnya.
Menurut Arwani, kebiasaan mencomot video tak utuh harus dihentikan karena tidak sesuai dengan tata krama politik.
"Kebiasaan mencomot dan memframing video sesuai kehendak dan selera politik tentu keluar dari etika. Sebaiknya, kebiasaan tersebut dihentikan karena jauh dari tata krama berpolitik yang sejuk," bebernya.