Kamis, 10 Januari 2019 06:30
Hukuman cambuk bagi pelaku zina yang belum pernah menikah.
Editor : Alief Sappewali

RAKYATKU.COM - Kalau semua orang menyadari betapa ngerinya hukuman bagi
pelaku zina, mungkin tak ada yang berani melakukannya. Seperti apa?

 

Dikutip dari Almanhaj.or.id, Ustaz Said Yai Ardiansyah, Lc MA menguraikan secara
panjang lebar persoalan ini. Dimulai dengan mengutip Alquran Surat An-Nur ayat 1-2.

"(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan dia (menjalankan
hukum-hukum yang ada di dalamnya), dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang
jelas, agar kalian selalu mengingatnya. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman."

Ada satu kata atau dalam bahasa Arab disebut kalimat yang diperselisihkan ulama.
Jika dibaca "wafarodhnaahaa", maka artinya adalah Kami wajibkan hukum-hukum
yang terdapat di dalamnya dan kami wajibkan untuk diamalkan. 

 

Sedangkan jika dibaca "wafarrodhnaahaa", maka artinya Kami rincikan dan jelaskan
hukum-hukum yang terdapat di dalamnya.

Sebagian ulama tafsir memandang tidak ada perbedaan makna dari keduanya, yang
berarti Kami wajibkan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya dan kami wajibkan
untuk diamalkan. 

Hanya saja lafaz yang kedua menunjukkan bahwa kewajiban yang terdapat di dalam
surat ini sangat banyak. Memang banyak sekali hukum-hukum yang terkandung
dalam surat ini. Di antara hukum yang disebutkan adalah hukuman bagi orang yang
berzina, orang yang menuduh orang lain berzina, saling melaknat, hukum memasuki
rumah seseorang, menundukkan pandangan, pernikahan, aurat dan lain-lain.

Firman Allah Azza wa Jalla, "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera."

Yang dimaksud dalam ayat ini adalah pezina yang belum pernah menikah, karena itu
disebutkan hukumannya yaitu didera (dipukul/dicambuk) sebanyak 100 kali. Adapun
untuk orang yang sudah menikah maka hukumannya dirajam.

Para ulama sepakat bahwa orang yang berzina yang belum menikah dihukum
dengan 100 kali dera, tetapi mereka berselisih pendapat tentang penambahan
hukuman pengasingan di daerah lain selama satu tahun. 

Jumhur ulama memandang bahwa selain didera sebanyak 100 kali maka dia juga harus diasingkan ke daerah lain selama satu tahun. Namun, Abu Hanifah berpendapat bahwa pengasingan selama setahun itu adalah hukuman yang ditentukan oleh sang hakim. Jika hakim memandang perlu untuk dilakukan maka dilaksanakan pengasingan dan jika tidak, maka tidak dilaksanakan.

Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama, karena pengasingan disebutkan
dalam beberapa hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya berikut ini.

Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Radhiyallahu anhu, beliau berdua berkata, "Dulu kami berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdirilah seorang
laki-laki dan berkata, ‘Saya memohon kepadamu dengan mengangkat suaraku agar
engkau menghukumi di antara kami dengan menggunakan Kitab Allah. Kemudian
berdirilah orang yang berselisih dengannya, dan dia lebih paham darinya, dan
berkata, ‘Hukumilah kami dengan menggunakan Kitab Allah dan izinkanlah saya
berbicara!’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Bicaralah!’ Dia berkata,
‘Sesungguhnya anakku dipekerjakan oleh orang ini kemudian dia berzina dengan
istrinya. Lalu saya menebusnya dengan 100 ekor kambing dan seorang pembantu.
Kemudian saya bertanya kepada para lelaki di kalangan ahli ilmu bahwa hukuman
bagi anakku adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan selama setahun dan
hukuman untuk istrinya adalah dirajam.’ Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  
berkata, “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, saya akan menghukumi antara
kalian dengan Kitab Allah -jalla dzikruhu-. Adapun 100 ekor kambing dan pembantu
maka dikembalikan (kepadamu), hukuman untuk anakmu adalah didera sebanyak
100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Pergilah ya Unais ke istri orang ini!
Apabila dia mengakuinya maka rajamlah dia!’ Kemudian Unais pun pergi menemuinya
dan dia mengakuinya, kemudian dia merajamnya.” (HR. Al-Bukhari no. 6827 dan 6828 dan Muslim no. 1697/4435 dan 1698/4436)

Hadis lainnya dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah dariku! Ambillah dariku! Sesungguhnya Allah telah menjadikan untuk mereka (para wanita yang berzina) jalan keluar. Perzinaan antara yang belum menikah dengan yang belum menikah adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan selama setahun, sedangkan perzinaan antara orang yang sudah menikah dengan yang sudah menikah adalah didera sebanyak 100 kali dan dirajam.” (HR Muslim no. 1690/4414)

Dengan kedua hadits di atas kita memahami bahwa hukuman bagi orang yang
berzina yang belum menikah adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan ke
negeri lain selama satu tahun dan hukuman bagi orang yang berzina yang muhshan
adalah dirajam. Orang yang muhshan adalah orang yang sudah menggauli
pasangannya setelah terjadi pernikahan yang sah.

Cara Mendera

Para Ulama fikih sepakat bahwa yang didera atau di-jald/dipukul adalah orang yang
sehat dan kuat untuk didera (dipukul) adapun yang tidak kuat maka tidak didera. 

Kemudian dideranya menggunakan cambuk yang sedang, tidak basah dan tidak juga
sangat kering, tidak tipis sehingga tidak menyakiti dan tidak juga tebal sehingga
membuat luka. Yang menderanya tidak mengangkat tangannya sampai di atas
kepalanya, sehingga terlihat ketiaknya. 

Kemudian tidak boleh memukul wajah, kelamin, dan anggota tubuh yang mematikan (jika dipukul). Menurut jumhur ulama pakaian tidak perlu dilepas dan laki-laki didera dengan berdiri sedangkan wanita duduk, sedangkan menurut Imam Malik rahimahullah, pakaiannya harus dilepas dan laki-laki dan wanita didera dengan duduk. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah XV/247-248)

Cara Merajam

Hukuman rajam adalah hukuman dengan dilempar dengan batu oleh orang banyak
sampai orang yang dihukum meninggal. Batu yang digunakan adalah batu sebesar
genggaman tangan, bukan batu yang sangat besar sehingga cepat meninggalnya
dan bukan juga batu yang kecil sehingga terlalu lambat meninggalnya. 

Ketika melemparkan batu, maka diajuhi dari melempar wajah, karena kemuliaan wajah. Laki-laki yang dirajam, dirajam dalam keadaan berdiri, tidak diikat dan tidak dikubur sampai setengah dadanya. Adapun wanita yang dirajam, dirajam dengan dikubur sampai setengah dadanya agar tidak tersingkap auratnya.

Orang-orang yang melemparnya mengelilingi orang yang akan dirajam, kemudian
mereka ber-shaf-shaf. Setelah shaf pertama selesai, dilanjutkan dengan shaf
berikutnya. Mereka melemparinya sampai meninggal. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah XXII/125)

Adakah hukum rajam dalam Alquran?

Allah Azza wa Jalla pernah menurunkan ayat tentang rajam, kemudian Allah  
hapuskan penulisannya di dalam Alquran, tetapi hukumnya tetap berlaku dan
dikerjakan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan para al-Khulafa’ar-
Rasyidin.

Terdapat sebuah atsar dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, "Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu pernah berkata ketika beliau duduk di
atas mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya Allah telah
mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan haq dan telah
menurunkan Al-Kitab kepadanya. Dan dulu yang termasuk yang diturunkan adalah
ayat tentang rajam. Kami dulu membacanya, memahami dan mengerti
kandungannya. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  pernah
menerapkan rajam dan kami juga pernah menerapkannya sepeninggal Beliau. Saya
takut jika manusia melalui zaman lama, ada seseorang yang berkata, ‘Kami tidak
mendapatkan tentang rajam di Kitab Allah,’ sehingga mereka tersesat karena
meninggalkan suatu kewajiban yang Allah  turunkan. Sesungguhnya rajam terdapat
di Kitab Allah, dia adalah kewajiban (yang harus dihukumkan) kepada orang yang
berzina yang telah menikah dari kalangan laki-laki dan wanita, apabila telah tegak
bukti atau (didapatkan wanita) sedang hamil atau adanya pengakuan (berzina).” (HR Muslim no. 1691/4418)

Pada hadits-hadits di atas disebutkan dengan jelas tentang adanya syariat rajam
untuk orang yang berzina yang sudah menikah. Begitu pula rajam pernah dilakukan
di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  kepada seorang wanita al-
Ghamidiyah, kepada seorang laki-laki yang bernama Ma’iz dan kepada yang lainnya.
 

TAG

BERITA TERKAIT